Memaknai Peristiwa Lebaran
Oleh As'ad Said Ali
Lebaran telah tiba. Bagi bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, momentum ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Keterlibatan setiap individu umat yang demikian total dan masif, sebagaimana secara nyata kita saksikan, jelas mengisyaratkan adanya kekuatan aktif yang menyatu antara aspek teologis dengan sisi-sisi sosial.
Kekuatan inilah yang secara sosial mendorong terjadinya mobilitas orang mencapai puncaknya, mudik lebaran dan saling kunjung mengunjungi; dan yang demikian ini adalah khas Indonesia. Sekitar sepuluh tahun yang lalu saya tinggal di Negara-negara Arab, tidak menjumpai suasana batin yang sedemikian mendalam dari lebaran seperti di Indonesia. Bahkan tidak pernah terdengar kata “Halal bi Halal”, suatu yang khas dari bahasa persaudaraan kita.
Ada visi batin yang luar biasa dari lebaran, yang muncul dari ritualnya yang paling inti, yakni salig maaf memaafkan, yang secara maknawi tidak bisa diremehkan: Bahwa manusia tidak punya kekuatan lain selain saling memaafkan. Tanpa kekuatan itu, kehidupan bermasyarakat dan manusia akan musnah, dan kekuatan yang demikian adalah percikan Ilahi.
Dalam visi demikian, manusia dengan watak Hobbesian-nya menjadi terintegrasi dalam sebuah masyarakat yang harmonis, justru meluas dari tingkat yang paling rendah, yakni keluarga, kemudian kampung, desa, suku, bahkan antar agama, kemudian menyatu dalam satu wadah yang disebut ‘harmoni masyarakat’, atau bahkan bangsa. Ketegangan keluarga dan sosial, apapun sabab-musababnya, ekonomi, sosial maupun politik, terhenti sampai di situ, kemudian suasana sosial dan politik menjadi cair dan segar kembali. Ini adalah mekanisme sosial yang khas, yang dimiliki bangsa ini, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Khazanah demikian telah ada sejak bangsa Nusantara ini ada, sebuah bangsa yang terletak di perlintasan dua benua, yang sifanya terbuka, yang di Jawa disebut riyaya, kemudian Islam memperkukuhnya.
Sekarang, bangsa ini telah mencapai tahap perkembangan yang tinggi, menjadi bangsa modern. Mekanisme sosial lebaran yang hebat itu tidak musnah, sebaliknya justru kian berlangsung luar biasa dengan hiruk-pikuknya. Kita patut bangga dan bersyukur, dan sayogyanya dapat menangkap visi bantinnya secara lebih implementatif dalam kehidupan sosial dan politik yang modern ini. Ini sangat penting. Sebab di era globalisasi ini, bangsa dan negeri ini bukan lagi secara sederhana berada di pesimpangan dua benua, melainkan telah berada di tengah persimpangan berbagai bangsa dari kawasan benua manapun. Dan globalisasi itu, mau tidak mau, telah menempatkan negeri kita Indonesia seperti rumah dengan seribu pintu dan jendela, dan kita tidak lagi bisa mengunci rapat pintu dan jendela itu. Itu pula yang sekarang dialami negeri-negeri konservatif seperti Korea Utara, bahkan Arab Saudi. Mereka mulai secara agresif membuka kunci pintu dan jendela rumahnya, dan diperbanyaknya sedemikian rupa.
Dengan perkembangan seperti itu, negeri ini, dan semua negara di dunia, akan menghadapi suatu kenyataan baru yang lain sama sekali: Bahwa masyarakat di semua negara, termasuk Indonesia, akan kian majemuk, baik deri segi budaya maupun politik, termasuk aliran agama. Itu kenyataan sosial yang tidak bisa dihindari, sebab globalisasi terjadi di semua sektor, dari aspek kapital, sosial-budaya, bahkan ideologi gerakan politik, baik yang bersumber dari nilai-nilai sekuler maupun agama. Ini artinya, kita dituntut cara bernegara dan berbangsa yang lebih segar dan terbuka.
Tentu kita tidak boleh menyerahkan secara pasif nasib masa depan bangsa terhadap arus besar itu. Sebab yang terjadi justru kekacauan. Pancasila sebagai ideologi terbuka, saya yakin, justru menjadi jawaban tepat untuk masa depan seperti itu. Dan semestinya Pancasila harus menjadi tolok ukur penilaian setiap tahap perkembangan bangsa ini: Apakah, misalnya, selama 73 tahun negeri ini merdeka, bangsa ini kian ber-Ketuhanan, kian berkemanusiaan, kian bersatu, kian berkerakyatan dan demokratis, dan kian berkeadilan. Inilah dasar evaluasinya.
Sementara khasanah bangsa dari lebaran, telah menyediakan mekanisme sosial yang handal untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat ke depan, yang di dalamnya mengandung tumbuhnya berbagai potensi ketegangan dan konflik akibat kian luas dan dalamnya kemajemukan sosial dan politik. Visi batin lebaran telah mengajarkan kepada kita untuk membangun politik persaudaraan, bukan politik permusuhan. Inilah kedalaman yang tersembunyi dari lebaran. Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Penulis adalah Waketum PBNU 2010-2015
Sumber NU Online. Com
Sumber NU Online. Com
Komentar
Posting Komentar