Kesunyian Besar Umat Manusia




Puisi Faisal Kamandobat

Kesunyian Besar Umat Manusia
Takdir muram dunia ini
Kebingungan besar sejarah ini
Terimalah dengan kerendahan hati
Di tengah mulut dunia yang terkunci
Getar alam keabadian ini
Bagi jiwa-jiwa melata,
Lemah dan sendiri
Kupersembahkan nyanyian panjang ini
Untuk bersama-sama mendengar
Suara-suara senyap dalam diri
Tuhan telah mengirim kesunyian besar
Untuk seluruh penduduk bumi
Pintu-pintu telah ditutup
Bagi duka dan bahaya yang hendak masuk
Tak ada lagi yang terbuka
Selain jalan keheningan
Doa dan perlambang bermekaran
Di taman jiwa yang dalam
Manusia, yang lama
Tak mengenal dirinya,
Tengah digiring oleh kawanan wabah
Ke ruang-ruang muram dan sunyi
Terkejut, bingung, dan gelisah
Menyaksikan versi-versi tentang dirinya
Yang melas dan yang buas
Yang pengasih dan yang jauh
Di saat begitu dekat dengan maut
Benua-benua tertidur
Kota-kota mengenakan selimut
Kelam dan muram
Manusia, yang lama tak bermimpi,
Tiba-tiba bermimpi kembali
Ikan-ikan kembali mengisi kanal dan pantai
Wawasan baru tumbuh
Pada dinding-dinding dan udara
Tanda-tanda tumbuh serupa biji-bijian
Dan semua menjadi buku
Kemudian bahasa-bahasa baru bermunculan
Dengan aturannya yang belum dikenal
Manusia belajar berkata-kata lagi
Dengan menyusun barang-barang
Membersihkan rumah
Mencuci tangan
Mendengar jenis-jenis suara angin
Dan aroma perabot-perabotan
Di tengah kesunyian besar
Rombongan semut yang tengah berkelana
Di atas meja makan
Menjadi peristiwa yang menakjubkan
Bersama berkembangnya
Peradaban dari hal-hal kecil
Metropolitan dari kaleng dan gelas
Di tepi baskom yang menjelma laut
Pena-pena menjadi pesawat dan roket
Yang menembus angkasa luar
Sementara di luar rumah
Langit begitu kelam
Mayat-mayat diangkut
Menuju kuburan-kuburan dangkal
Beberapa dokter terkapar kelelahan
Menangani ribuan korban
Berita kematian terus berdatangan
Bersama maut yang begitu pemurah
Menjemput ajal sekalian insan
Untuk dibawa ke alam seberang
Sekelompok orang murung
Yang merasa mendapat pertanda
Mengira hari kiamat akan segera tiba
Mereka menari di tengah kabut
Bernyanyi-nyanyi di beranda
Sambil menghadap langit penuh badai
“Homo Sapiens Mohon Ampunan” Tinta pada Kertas (Faisal Kamandobat, 2019)

Kabar datangnya hari kiamat
Disambut dengan penuh suka cita
Orang-orang memborong makanan
Seakan tengah mempersiapkan pesta
Tentang akhir seluruh waktu
Di mana kata kerja yang selama ini dilakukan
Perlahan akan membeku menjadi kata benda
Dan tindakan-tindakan tak berguna
Akan tertunda selamanya
Seorang ilmuwan tua
Yang lama berdiam di laboratorium
Keluar rumah sambil membawa temuannya:
Sebuah jam tua dengan setumpuk kertas
Berisi teori tentang pembiakan waktu
Dengan kelipatan tak terhingga
Dapat menyebar seperti wabah
Khayalannya segera disambut
Orang-orang yang  banyak menanggung
Kesedihan sepanjang hidupnya
Dipenuhi kisah-kisah tentang para juru selamat
Dan persekongkolan orang-orang besar
Mengatur dunia
Kerumunan mereka berakhir
Ketika seorang bocah
Yang baru pulang dari sekolah
Menghampiri dan bertaruh
Sambil memasang beberapa koin:
Nanti malam hujan akan turun
Dan esok matahari akan terbit seperti biasa
Tapi jam tua itu akan tetap mati
Sampai juru selamat menghidupkan kembali
Esok hari, jalanan dipenuhi manusia
Beberapa seniman menggelar pertunjukan
Di pinggir alun-alun yang ramai
Membawakan lagu-lagu cinta
Dengan parasaan hebat dan syahdu
Menghibur para pejalan
Dan orang-orang yang tengah rehat
Dari pekerjaan
Mereka yang lolos dari akhir zaman
Akan melanjutkan pekerjaan mereka
Di rumah, kantor, atau pabrik
Menghidupi keluarga dengan rizki yang baik
Menanti datangnya juru selamat
Dengan kerja keras dan tanggung jawab
Pada kebun kecil di belakang rumah
Bunga-bunga bermekaran
Setelah diguyur hujan semalaman
Benih-benih bermunculan
Mengisi kehidupan baru
Dan burung-burung berterbangan
Menuju dahan pohonan
Hari kiamat yang dinanti-nanti
Tak jadi datang hari itu
Mungkin ia sedang dalam perjalanan
Dan selalu seperti itu
Sampai batas waktu yang tak menentu
Dan atas dasar itu
Bocah itu memenangkan taruhannya
Ia membawa pulang banyak sekali koin
Untuk dipersembahkan pada ibunya
Tapi, tak lama kemudian
Ramalan ilmuwan itu terjadi
Wabah benar-benar mendatangi kota
Menjalar seperti bisikan rahasia
Seakan siapa saja yang mendengar dan bicara
Akan menderita atau sekarat seketika
Orang-orang berhamburan dari jalanan
Menuju rumah-rumah mereka
Tak ada lagi yang tersisa
Selain jejak kaki para pejalan
Di sudut-sudut kota
Pula nyanyian para seniman
Yang anehnya masih tetap bertahan
Usai ditinggalkan para pemainnya
Di udara, irama nyanyian itu
Seperti kawanan malaikat
Tengah membagi kabar langit
Untuk para penduduk bumi
Angin dingin berhembus pelan
Bersama suara seruling yang nyaring
Angin berat perlahan datang
Bersama ketukan drum dalam kegaiban

“Homo Sapiens Mohon Ampunan” Tinta pada Kertas (Faisal Kamandobat, 2019)

Mesjid, gereja dan sinagog dikosongkan
Pula pura dan tempat-tempat suci
Kidung puji tak lagi bergema di altar
Tuhan yang lama berdiam
Dalam lembaga dan organisasi
Memutuskan pindah ke dalam hati
Dan membagi kasih-Nya
Tanpa mengikuti prosedur resmi
Seketika, setiap hati adalah kuil
Di mana perasaan-perasaan bersalah
Dibicarakan langsung dengan Tuhan
Dosa-dosa kecil dan besar
Mendadak lebih mudah diampuni
Dan pintu firdaus dapat dilihat
Cukup dengan kerendahan hati
Di tengah derita
Tak ada yang lebih menyedihkan
Selain tempat-tempat ibadah
Yang tertutup bagi orang-orang papa
Agama telah begitu tua dan sedih
Terlalu sering disalah-pahami
Dan disalah-gunakan
Seperti benda purba yang tak henti
Jadi sengketa dan perdebatan
Siapa mengaku sebagai pengikut Kristus?
Siapa merasa setia di jalan Musa?
Siapa mengaku sebagai umat Muhammad?
Siapa menempuh jalan surga para Dewa?
Jalan lengang dan lapang itu
Tak dapat dilewati
Selain oleh orang-orang yang membawa
Kemurnian dari masa bocah
Menuju masa yang diliputi bayangan
Di taman lengang penyesalan
Wawasan-wawasan suci diturunkan
Insan-insan memungut buah-buahan
Dari pohon penderitaan
Di Makkah atau Jerussalem
Di tepi sungai Gangga dan taman Lumbini
Jiwa-jiwa patah tak dapat lagi meratap
Tapi lembutnya kasih Kristus
Kekuatan hukum Musa
Manisnya cinta Muhammad
Sentuhan magis para Dewa
Alangkah dekat
Bagi hati yang senantiasa setia dan murni—
Sebelum wajah umat manusia
Melahirkan wajah-wajah lain
Yang tak dapat dikenali
Sudah lama kita tidak merasakan
Getar dari sebuah senyuman
Yang diliputi cahaya
Sebab kau dan aku—manusia—
Tinggal sekumpulan partikel
Yang diberi ego dan nama-nama
Sapaan kita, yang lembut atau dingin,
Sekadar pekerjaan mesin
Yang telah dibuat rutin
Jantungku masih berdetak
Kelopak mataku selalu terbuka
Tiap kali menyambut matahari
Tapi tak ada lagi arti pagi
Dengan aroma dan sisa mimpi
Bekerja dan berbasa-basi
Tak lebih aliran listrik
Yang menggerakkan mekanika
Jasad buatan ini
Jika ada kata yang salah
Dan sikap yang kurang berkenan
Atau tindakan gegabah
Yang membahayakan
Mohon periksa algoritmanya
Sebab itulah dasar moralitas baru kita
Setelah dosa dan pahala
Diatur oleh para programer manusia
Jangan bersedih, manusia
Masih terbuka jalan kembali
Temui aku di sisi
Di ruang dalam sajak ini
Temui dan bawa padaku
Kota-kota sunyi dan aroma mautnya
Paru-paru yang membeku oleh harapan patah
Penyakit menular dan rasa lapar
Bawa semua mimpi yang terbengkalai
Di atas surat-surat bersegel

“Homo Sapiens Mohon Ampunan” Tinta pada Kertas (Faisal Kamandobat, 2019)

Di sini hanya angin berdesir
Cahaya berpendar alangkah lembut
Di sini pernah sama-sama kita cecap
Kebajikan-kebajikan kecil dan sederhana
Kita membeli segala kebingungan ini
Tanpa menghitung betapa suramnya
Bagi pikiran-pikiran yang alpa
Tak ada yang sanggup menanggung dunia
Tanpa tangan dan kaki
Mata yang terbuka tapi tak bisa melihat
Jiwa-jiwa murni yang terendam hujan
Wabah penyakit dan debu radioaktif
Temui aku di ruang dalam sajak ini
Pada akar-akar doa di jantungmu
Berdenyut lirih dan pilu
Dan sentuhan tangan manusiawimu
Akan membantumu menemukanku
Gelisah abad-abad yang papa
Di tiap-tiap kata yang tertahan
Di bibirmu yang beku
Kuterima tanpa penawaran dan penantian
Di sisi dalam jantung
Yang sama-sama kita kenakan
Jangan menyerah, manusia
Di tengah kesunyian besar ini
Di masa paling murung dari dunia
Di getar nyanyian si fakir
Di liang mata pencinta yang patah
Di tenggorokan para pemimpin yang bimbang
Di senja merah negeri-negeri bayangan
Kita menyaksikan wajah maut di mana-mana
Berparas nyanyian, bersayap api
Bertudung awan, bertangan angin
Melangkah tenang
Tak tertahankan, tak tertahankan
Membawa takdir layaknya kekayaan
Di tengah kawanan para peminta-minta
Jangan takut!
Sekali lagi, jangan takut, manusia!
Begitu banyak biji-bijian yang menunggu
Ucapan syukurmu yang tertunda
Ikan-ikan yang terusir dari pantai
Dan sungai-sungai tersedak lumpur
Kapal para penjelajah dan penakluk
Dari kaummu
Rasa malu yang dingin
Dari pemikiran dan keyakinan yang keliru
Tak akan berdaya di hadapan cinta
Di gigir malam yang senyap
Di bawah lubang langit misterius itu
Tempat Homo Sapiens melepas
Luka-luka evolusinya
Kelopak-kelopak mawar berguguran
Dari pohon-pohon cahaya
Di rimbun lamunan para pencari
Di perpustakaan tanpa pembaca
Di tiap zarah yang mengikat kabar dan wahyu
Di ujung nada sajak ini
Terimalah wajah murni yang tersembunyi
Versi mendalam dari ada
Sisi lain yang perlahan mengembang
Serupa kata cinta
Alangkah dekat firdaus
Mari berharap bersama
Alangkah dekat kau dan aku
Bergetar bersama
Rupa-rupa senyum itu
Biarkan menjangkau jiwa-jiwa
Dan kasih akan seluas yang telah
Diberikan oleh waktu
Hidup yang pemurah, berpeluh takdir
Tiada pilihan selain berpeluh takdir
Untuk para pejuang kesunyian yang gigih
Di peradaban kata-kata
Tindakan-tindakan utuh perlu dibuat
Sebab meski uang perlahan tiada
Hidup tak lantas seperti di surga
Tanpa alat tukar dan kepemilikan
Serta kedamaian mentarinya
Kita akan tetap berpeluh takdir
Berpeluh takdir, berpeluh takdir
Jangan jatuh lebih dalam, manusia!
Jangan tekuk tekadmu
Meski keringat kadang terasa sia-sia
Bagi anak Adam yang menghargai kerja
Perjuangan menjadi manusia
Tak akan ada habisnya
Bertahanlah di rumah
Genggamlah doa-doa
Kenalilah kembali bahasa
Yang mengalirkan pesan-pesan magis
Di lubuk jiwa yang dalam
Dan lihatlah bagaimana alam bekerja
Di tengah badai wabah dan kesunyian gila
Istri-istri masih melahirkan
Anak-anak rupawan
Tumbuh-tumbuhan mengembang
Sebagaimana mestinya
Hewan-hewan tak menjadi abu
Di kandang dan padang hijau
Dan waktu terus membuka pintu-pintu sejarah
Bersama kasih yang bermekaran
Seiring terbitnya hari-hari.
2020
kurator pameran; penyair dan peminat seni rupa, peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH-UI), Jakarta.

Komentar

Postingan Populer