Menjauhkan Orang Muda dari Desa
oleh, nurhadysirimorok
DALAM RANGKAIAN ACARA tujuhbelasan tahun lalu, desa itu berhenti mengadakan pertandingan sepakbola. Jumlah pemuda terlalu sedikit untuk membentuk satu tim sekalipun. Tradisi tahunan itu berakhir oleh kepergian para pemuda dari Desa Soga, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan—entah untuk sekolah atau bekerja.
Ini bukan fenomena unik atau baru. Di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, lebih satu dekade lalu, saya menyaksikan sebuah desa tiba-tiba ramai oleh anak muda. Sebuah lapangan voli baru dibuat khusus untuk menyalurkan energi muda mereka, pria maupun wanita, setiap sore. Mereka baru saja pulang dari Malaysia, kebanyakan bekerja di Kuala Lumpur, ketika kebijakan pekerja migran baru berlaku segera setelah Abdullah Ahmad Badawi menggantikan Mahathir Mohamad. Tetapi keramaian itu hanya berlangsung beberapa bulan. Begitu mereka bisa kembali lagi ke negeri tetangga, lapangan voli dan desa itu segera lengang. Desa itu kembali didominasi kakek-nenek dan cucu.
Fenomena perginya anak muda dari desa dan pertanian dapat kita lihat di mana-mana, bahkan dalam skala seluruh dunia. Cerita-cerita anekdotal seperti di atas sangat mudah kita temui ketika berkunjung ke desa atau membaca berita dan penelitian-penelitian studi kasus.
Remaja muda desa itu kian menganggap hidup di desa dan bekerja sebagai petani adalah hidup yang tidak menjanjikan. Desa berubah tempat bertumbuh sebagai anak-anak untuk kemudian ditinggalkan ketika beranjak remaja atau menjelang dewasa. Sebagaimana narasi kisah hidup Ikal dalam rangkaian novel laris Andrea Hirata.
Mereka tidak keliru. Serangan terhadap (ekonomi dan budaya) desa dan pertanian skala kecil berlangsung sudah lama di Indonesia—dan masih berlanjut. Serangan itu seperti bekerja untuk menjauhkan orang muda desa dari kampung mereka.
SEJAK AWAL 1980-an, Revolusi Hijau meluas di Indonesia. Revolusi ini membawa perubahan sistem budidaya tanaman pangan yang pada dasarnya berarti pengadaan bibit padi ‘verietas unggul’ (high yield variety), input kimia (pupuk, pestisida dan herbisida), dan mekanisasi (traktor). Semua barang ini harus dibeli petani dengan harga semakin mahal. Revolusi ini tentu saja melambungkan ongkos produksi petani dan membuat banyak petani gurem sulit memulai musim tanam tanpa mengutang. Mayoritas petani ini akhirnya kehilangan tanah setelah tak mampu melunasi utang, entah karena gagal panen atau menghadapi kebutuhan mendadak dalam jumlah besar. Banyak dari mereka kemudian bekerja sebagai buruh tani atau pekerja migran, sebagian lagi mengalir ke kota-kota besar untuk menjadi pekerja informal atau buruh murah dan tinggal di perkampungan kumuh.
Dengan ongkos produksi meroket bersama harga kebutuhan sehari-hari, Nilai Tukar Petani (NTP) sulit membaik. NTP adalah rasion antara harga produk petani dan harga barang-barang kebutuhan petani, salah satu indikator utama untuk melihat kesejahteraan petani. Angka NTP 100 berarti petani mengalami impas, lebih besar dari itu mereka untung dan lebih kecil menandakan kerugian. Data BPS 2014 menyebutkan, NTP petani tanaman pangan hanya mencapai 100,24 pada 2013 dan 100,07 pada 2014. Angka ini menunjukkan betapa mereka hanya hidup dari keuntungan marjinal. Angka ini pun masih rata-rata, belum memilah antara petani kecil, menengah dan besar; juga antara petani pemilik tanah dan tunakisma (tak punya tanah). Sebagai gambaran, sebuah studi kasus di Jember, Jawa Timur misalnya, mencatat tinggi rendahnya NTP petani tanaman pangan di kabupaten itu paling ditentukan oleh luasan lahan garapan.
Masalah lain yang menghadang generasi muda tani adalah harga tanah pertanian yang melambung. Ini seiring beragam program apa yang disebut ‘individuasi lahan’—memastikan hak kepemilikan tanah pribadi sekaligus menyulap tanah menjadi komoditas siap jual, yang ujungnya menjadi sasaran para spekulan. Sebuah penelitian di 12 desa dari empat provinsi menyebutkan, harga satu hektar sawah beririgasi bervariasi antara Rp 100 juta – Rp 1,5 milyar. Sulit membayangkan anak-anak muda dari keluarga petani gurem dan tunakisma menyanggupi harga setinggi itu.
Pemerintah Orde Baru memang pernah membagi-bagikan tanah kepada petani kecil lewat program transmigrasi. Tetapi ada pelbagai soal yang mengiringi, termasuk lahan pembagian yang tidak subur dan masih di bawah klaim pihak lain dengan beragam sistem tenurial (penguasaan lahan). Transmigrasi juga mengharuskan petani meninggalkan tanah yang sudah mereka akrabi, dengan demikian juga meninggalkan pengetahuan tentang tanah itu sendiri. Banyak yang gagal dan tetap menjadi petani tunakisma di tanah rantau. Tetapi jumlah lahan yang didistribusi program ini kepada petani kecil kalah jauh ketimbang lahan yang dilepas untuk perusahaan besar.
Setelah sekian dekade transmigrasi, Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi dalam Enam Dekade Ketimpangan membeberkan gambaran kontras mengenai penguasaan lahan. Pada 2003, lebih 24 juta keluarga petani pengguna tanah hanya menguasai sekitar 21 juta hektar lahan pertanian. Lebih 13 juta keluarga petani lainnya adalah petani tunakisma yang bekerja sebagai buruh tani. Bandingkan dengan 555 perusahaan tambang besar yang menguasai lebih dari 260 juta hektar pada 1999; sementara luas daratan Indonesia hanya sekitar 190 juta hektar. Atau, 285 unit pemegang konsesi hutan yang menguasai 28 juta hektar pada 2005. Artinya, setiap perusahaan tambang raksasa itu rata-rata menguasai setengah juta hektar, masing-masing perusahaan konsesi mengangkangi rata-rata nyaris 100 ribu hektar, sementara setiap keluarga petani pengguna tanah hanya menguasai rata-rata 0,84 hektar.
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan angka ini belum beranjak jauh. Keluarga petani rata-rata hanya menguasai 0,89 hektar (khusus untuk sawah, rata-rata cuma 0,39 hektar), sekalipun jumlah keluarga petani berkurang dengan kecepatan setengah juta setiap tahun sejak 2003.
Lahan pertanian seluas rata-rata 0,89 hektar/ keluarga inilah yang diperebutkan oleh sekitar 26 juta keluarga petani Indonesia. Banyak generasi muda petani harus mencari uang dengan merantau demi mendapatkan lahan garapan pada masa tua. Jika satu keluarga berhasil mendapatkan lebih dari angka rata-rata itu—seringnya lewat “penggusuran orang-orang dekat” menurut istilah Tania Li, keluarga lain akan tergusur. Ini terjadi ketika banyak tanah yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar malah menganggur.
Rendahnya keuntungan dari usaha tani, kurangnya lahan, dan tingginya harga tanah pertanian menjadi halangan utama generasi muda desa membayangkan masa depan mereka bersama cangkul dan tanah.
PANDANGAN TENTANG SURAMNYA masa depan profesi petani tidak didominasi generasi muda desa. Di sebuah desa di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, terjadi fenomena menarik. Para orangtua yang berusia akhir 20-an atau 30-an, nyaris seluruhnya putus sekolah, dengan serius menyekolahkan anak setinggi mungkin. Mereka adalah generasi yang menikmati masa produktif kakao dan menikmati harganya yang melambung karena lemahnya rupiah pada dekade 1990-an. Karena itu mereka merasa tidak perlu bersekolah hanya untuk mendapatkan kerja kantoran bergaji rendah.
“Waktu itu, kalau kami ke kota, kami dihormati,” kenang seorang bapak muda. Martabat mereka sebagai petani tidak kalah dengan pekerja kantoran.
Kini, setelah produktivitas kakao ambruk, mereka ramai-ramai mengantarkan anak masuk sekolah agar bisa mendapatkan kerja kantoran. Bagi mereka, menjadi petani sudah sulit menjanjikan prospek penghidupan layak, seperti mereka dulu.
Tetapi sekolah—sekolah tinggi sekalipun—tidak selalu menjamin kemudahan mendapatkan kerja kantoran di kota-kota (besar atau kecil). Penciptaan lapangan kerja tidak mendapatkan perhatian serius di Indonesia. Deindustrialisasi yang bisa membuka banyak lapangan kerja sudah terjadi sejak dekade lalu. Sementara kursi di kantor-kantor pemerintahan sulit bertambah secara signifikan karena keterbatasan dana pemerintah.
Pemerintah tampak lebih serius mengurusi kampanye ala ‘ciptakan-pekerjaanmu-sendiri’ lewat beragam program kewirausahaan atau entrepreneurship. Salah satunya mengajak orang-orang muda mengembangkan ‘industri kreatif.’ Seolah anak-anak muda kreatif itu tak akan terbentur pelbagai soal struktural seperti akses terhadap kredit permodalan, akses terhadap infrastruktur, akses pasar, persaingan terbuka dengan pemodal besar, dan seterusnya. Akhirnya, sulit membayangkan generasi muda dari keluarga petani gurem dan tunakisma, dengan segala keterbatasan struktural mereka, bisa berpartisipasi secara signifikan di dalamnya.
Kita pun mulai menemui banyak anak-anak muda desa yang telah menghabiskan belasan tahun bersekolah—juga menghabiskan pendapatan bahkan kadang alat produksi orangtua—pulang ke desa untuk memulai hidup mandiri. Mereka telah bersekolah lebih lama daripada orangtua mereka dan menjadi lebih terdidik. Sebagian tidak ingin bekerja seperti orangtua mereka dan kadang orangtua pun berharap demikian. Tetapi bagi yang masih bersedia menjadi petani akan berhadapan dengan deretan persoalan di atas. Mereka pun sudah lama meninggalkan desa dan mungkin telah kehilangan sebagian keterampilan, pengetahuan, dan jaringan yang dapat menyokong mereka sebagai petani.
NAMUN DI DESA-DESA yang karena proses historis tertentu mampu mempertahankan lahan, terjadi hal sebaliknya. Mereka dapat melakukan redistribusi lahan—baik berbasis keluarga maupun komunitas—sehingga sanggup mempertahankan generasi petani muda mereka. Anak-anak muda yang saya temui di pelbagai desa seperti itu, dari Kabupaten Pangkep (Sulawesi Selatan) hingga Kabupaten Merangin (Jambi), dengan bangga menyebut diri sebagai petani. Mereka betah tinggal di desa, mengembangkan pelbagai inovasi bertani dan memenuhi seluruh kebutuhan secara layak.
Melihat itu, harapan untuk mempertahankan pertanian sebagai penyedia lapangan kerja terbesar di wilayah pedesaan masih terlihat. Bila diurus dengan baik, pertanian, terutama dalam skala kecil yang padat karya, bisa terus menyerap angkatan kerja muda dalam jumlah besar. Saat ini, dalam hingar-bingar ‘bonus demografi’ Indonesia (sekitar setengah populasi berusia di bawah 30 tahun), perhatian terhadap generasi muda desa harus diberi tempat khusus. Bonus ini bisa menjelma ‘tragedi demografi’ berupa ledakan surplus orang muda desa yang mengalir ke negeri-negeri tetangga.
Selain itu, orang muda desa tidak hidup hanya untuk masa depan—sebagaimana sering kita dengar dalam pelbagai bentuk ceramah. Negeri ini butuh mereka untuk segera terlibat dalam derap ekonomi pedesaan, untuk mulai membangun pondasi pertanian yang kokoh untuk masa depan generasi mereka.
Dalam pidato perpisahannya sebagai guru besar Sosiologi Pedesaan di Institute Social Studies, Den Haag, Ben White menyampaikan pertanyaan yang sangat menantang: bila orang-orang muda tidak lagi mau bertani dan keluarga petani kecil akan hilang, lantas bagaimana mempertahankan argumen akan pentingnya peran pertanian skala kecil, dan membantah para pengusung pertanian dan perkebunan skala besar?[]
*pernah terbit di Pindai.org, Juni 2014
Komentar
Posting Komentar